Kelahiran Al-Bushiri

Hari itu merupakan hari yang sangat bersejarah bagi Said. Hatinya berbunga-bunga. Tampak di waishni kebahagiaan dan keceriaan. Janin yang selama ini dinanti-nanti, kini lahir menghiasi suasana. Tangisan bayi mungil itu semakin membuat hati terhibur. Ia diberi nama Muhammad Kelak, Muhammad masyhur dengan sebutan al-Bushiri, Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Said bin Hammad Addallâshi Ash-shanhâji asy-Syadzili al-Bushiri (selanjutnya ditulis al-Bushiri). Bergelar Syarafuddin (kemuliaan Agama) dan berkunyah Abu Abdillah.

Al-Bushiri lahir pada hari Selasa awal Sya’ban pada tahun 608 H. bertepatan dengan tanggal 07 Maret 1213 M. Ia lahir di desa Dallash, salah satu desa Bani Suef yang termasuk bagian wilayah Mesir. Namun, beliau tumbuh besar di desa Bushir, dekat Dallash. Hal itu bisa dimaklumi. Sebab, Said ayah al-Bushiri, berasal dari Dallash sedangkan ibunya dari Bushir. Maka tak heran jika di kemudian hari al Bushiri juga dijuluki ad-Dalashiri (gabungan Dalash dan Bushir). Kalau diteliti lebih lanjut al-Bushiri termasuk keturunan Kabilah Sanhaj etnis Barbar yang tinggal di negara Maroko paling selatan.

Masa Belajar

Di awal pertumbuhnnya, al-Bushiri menempuh pendidikan di rumah. Ia memulai kegiatan belajarnya dengan menghafal al-Qur’an. al-Bushiri sangat antusias dan giat sekali. Sehigga, di umur yang masih belia, ia sudah hafal al Qur’an.

Kemudian, al-Bushiri hijrah ke Kairo. Di sana ia menimba berbagai macam ilmu agama, tata bahasa, sastra dan sejarah. Ia juga belajar kepada banyak ulama terkenal kala itu. Di antaranya, Syekh Ali bin Ahmad bin Abi Bakar, Syekh Umar bin Syeikh Isa, Syekh Jamaluddin bin Yusuf bin Ismail al-Anbali, Syekh Izzudin Abu Umar Abd. Aziz bin Badruddin al-Makruf bin Ibn Jamaah, Syekh Attaqi ibn Hatim, Syekh Ibrahim bin Ahmad bin Abd. Wahid atTanwahki al-Burhan al-Syami, Syekh Abu Fadlu al-Iraqi, Syekh Ahmad bin Ali bin Muhammad (Ibn Hajar al-Asqolani), Syekh Abul Abbas Al-mursi, dan yang lainnya.

Wali Bertarekat Syadzili

Beliau adalah salah satu wali Allah , guru orang-orang yang meniti jalan Ilahi, memiliki makrifat rabbânî dan mawâhib as-Samadâni. Beliau juga orang istimewa yang selalu berkumpul dengan Rasulullah dalam tidur maupun terjaga, orang yang memiliki gelar Syarafuddin (kemulyaan agama).

Al-Bushiri dalam ilmu tasawuf dan meniti jalan menuju hadhratil-Lâh berguru kepada Sayyid Abul Abbas al Mursi, pemegang matarantai tarekat Syadziliyah pasca wafatnya Syekh Abul Hasan Ali asy-Syadzili. Ajaran tasawuf yang diberikan Syekh Abul-Abbas al-Mursi begitu berkesan dan memberikan pengaruh besar dalam pandangan hidup al Bushiri. Tak’ mengherankan jika al-Bushiri tertulis sebagai salah satu tokoh terkemuka dalam tarekat Syadzilivah

Mengenai perjalanan tasawuf al-Bushiri, Dr. Sulad Mahir berkata, “Mulanya al-Bushiri mengajar menulis pada beberapa kelompok di daerah Bilbis. Kemudian beliau meningggalkan tugas-tugas pemerintahan dan kesengana dunia, lalu menyendiri dalam kehidupan tasawuf dan menghabiskan waktunya untuk beribadah. Setelah itu ia pergi ke Iskandariyah untuk menjadi murid Al-Quthb Abul Abbas Al Mursi”.

Dua Sahabat Pelopor Dunia

Ketika al-Bushiri berguru kepada Sayyid Abul Abbas al-Mursi, beliau memiliki banyak teman seperguruan, di antaranya adalah Syekh Ibnu Athaillah al-Iskandar. Meski sama-sama memiliki karya dalam bentuk prosa dan puisi, tapi dalam pandangan masyarakat kedua tokoh ini memiliki keistimewaan berbeda. Syaikh Ibnu Athaillah terkenal mahir dalam karya prosanya, sedangkan Imam al-Busiri terkenal pandai dalam bentuk syi’irnya.

Dua santri Sayyid Abul Abbas al-Mursi ini, meski pernah hidup seperiode tapi selisih tahun kewafatannya relative jauh. Imam al-Bushiri wafat pada tahun 694 H., sedangkan pengarang Syekh Ibnu Athaillah wafat pada tahun 707 H.

Wali Yang Seniman

Meski al-Bushiri termasuk dalam jajaran para wali, beliau juga dikenal sebagai penyair. Dalam hal syi’ir, siapapun mengakui keahliannya. Puisi-puisi beliau sangat indah dan mempesona serta memiliki makna yang agung. Kata-katanya mengalir, susunan lafalnya rapi dan alur kata apik serta elok.

Beliau juga sangat arif menyusun badi’ dan bayan dalam bait-bait syi’irnya. Bisa dikata, beliau di antara penyair nomor wahid hingga sekarang. Tidak ada satupun penyair yang mampu mengalahkan karangan beliau, lebih-lebih Kasidah Burdahnya. Tak heran jika syair beliau menjadi acuan utama bagi para penyair berikutnya.

Selain cakap dalam menulis puisi, al-Bushiri juga pandai dalam kaligrafi. Tulisan beliau sangat indah. Bentuknya menyilaukan mata; menggambarkan betapa pandainya beliau meliuk-liukkan tangannya. Karena kepandaiannya itu, banyak orang yang ingin belajar khât kepadanya. Sehingga, dalam seminggu orang yang belajar kepada beliau lebih dari 1000 orang. Konon, beliau belajar tehnis dan kaidah kaligrafi ini kepada Syekh Ibrahim bin Abi Abdullah al-Misri, salah satu khattât Mesir yang sangat mashur kala itu.

Pecinta Baginda Nabi

Al-Bushiri memang tidak pernah memperoklamirkan diri sebgai pecinta Rasulullah . Namun, kecintaan beliau begitu tampak dari pekertinya. Memang, sedalam apapun perasaan cinta itu dikubur, serapat apapun cinta itu ditutupi, pasti akan terungkap. Rasa cinta bagaikan batuk. Sulit sekali bagai orang batuk meyembunyikan batuknya.

Kecintaan al-Bushiri bisa dilihat dari hobinya. Beliau sangat hobi membaca sejarah dan perjalanan hidup Baginda Nabi Muhammad. Rasa cinta itu menggebu-gebu seakan tak mampu lagi mengendap dalam hati terlalu lama. Kemudian, rasa cinta itu tertuang dalam bait-bait puisi. Pujian al-Bushiri kepada Nabi berserakan dalam bait-bait syairnya. Al-Busiri berkata dalam Kasidah Hamziyahnya,

Bagaimana mungkin para nabi menggapai darajatmu Wahai langityang tak ada langit lagi di atasnya Engkau lentera keutamman Cahaya-cahayalahir dari cahayamu.

Namun yang menjadi puncak dari keindahan sastra dalam memuji sang Baginda adalah Kasidah Burdah karya menumentalnya. Sehingga, beliau dijuluki Sayyidul Madah Pemimpin para pemuji Rasulullah.

Kristolog Yang Sekaligus Teolog

Al-Bushiri juga seorang kristolog. Beliau banyak membaca Taurat, Injil, dan karya-karya yang ditulis orang-orang Nasrani-Yahudi. Dengan keahlian ini, Imam al Bushiri senantiasa tampil dalam polemik dan perdebatan melawan orang-orang Nasrani-Yahudi. Konon, al Bushin telah menulis kitab al-Mukhraj wal Mardâd ‘alan-Nashära wal-Yahûd yang pernah disebarkan oleh Ahmad Fahmi Muhammad di Kairo pada tahun 1372 H./1953 M. Karangan ini berisi kritikan-kritikan terhadap keyakinan agama Yahudi Nasrani. Beliau juga pernah menulis kitab yang berjudul Tahzdibul alfahd al-Amyah, dan kitab ini juga pernah di cetak di Kairo. Oleh karena itu, Ibnu Hajar al-Haitami sempat menyebut al-Bushiri sebagai keajaiban Allah ke dalam sajak prosa-Nya.

Meski demikian, keahlian al-Bushiri dalam karya karya prosanya masih diragukan karena memang jarang sekali karya-karya prosanya muncul. Beda halnya dengan keahliannya di bidang sajak. Dalam bidang ini, tidak ada satu orang pun yang meragukan kemampuan al-Bushiri.

Selain menjadi keristolog, al-Bushiri juga tidak segan mengkritik aliran-aliran di luar Ahlusunah waljamaah. Beliau menolak keras paham Syi’ah Rafidah, kelompok yang benci sahabat selain dari keluarga Sayyidina Ali . Beliau juga sangat menentang paham nashb, kelompok yang membenci Sayyidina Ali. Beliau berpendapat, perselisihan yang terjadi antara Sayyidina Ali dan Muawiyah lahir dari perbedaan ijtihad. Dan itu tidak menjadikan mereka legal dibenci apa lagi dicaci maki.

Kritukus Pemerintah

Sebelum al-Bushiri mendalami tasawuf, beliau tergolong orang yang dekat dengan pemerintah. Beliau memiliki posisi strategis di hati dinasti Mamluk. Sehingga, di antara puisi al-Bushiri ada yang lahir memuji mereka dan memojokkan musuh-musuhnya. Beliau juga menduduki berbagai jabatan pemerintahan di Kairo maupun di daerah lain, bahkan beliau pernah menjabat sebagai Waliyul-Hisbah (semacam pengawas).

Namun, ada yang janggal di hati al-Bushiri. Akhlak pegawai yang begitu bobrok membuat beliau mengernyitkan dahi. Beliau tidak suka melihat kelakuan mereka yang mengambil harta negara. Kelakuan mereka yang korup menyisakan perasaan marah di hati al-Bushiri. Sehingga menimbulkan perdebatan hebat antara beliau dan pegawai-pegawai kurang ajar itu.

Sebagai penyair hebat, al-Bushiri mengkritik habis kelakuan pegawai itu lewat sajak puisi. Memang, puisi dianggap ampuh untuk mengingatkan pemerintah yang tak loyal kepada masyarakat atau menyalahi aturan dan norma. Bahkan, sampai sekarang pun, puisi menjadi alternatif untuk mengkritik kebijakan pemerintah yang dapat merugikan publik. Dalam puisinya itu, al-Bushiri mengungkit kesalahan mereka, membeberkan pelanggaran-pelanggaran yang mereka lakukan. Diantara kutipan sairnya,

Ku pandang pegawai-pegawai ituNamun, tak satupun yang dapat dipercaya Aku telah bergaul dan berkumkpul bersama mereka sampai beberapa tahunBetapa banyak penghasilan telah mereka curi seperti ketika mencuri dari mata kita dan kita tidak tahu Andaikan tidak begituManamungkin mereka memakai sutra dan minum arak Andarina

Setelah kejadian itu, al-Bushiri meninggalkan semua jabatannya dan berkonsentrasi pada perjalanan tasawufnya. Beliau pergi ke Iskandariyah untuk berguru kepada Sayyid Abul Abbas al-Mursi. Beliau tinggal di Iskandariyah sampai ajal menjemput.

Dicintai Masyarakat

Sebagai tokoh sufi, Imam al-Bushiri memiliki kesan mendalam di hati masyarakat. Beliau sangat dicintai dan dihormati. Hal itu tampak ketika mereka menjumpai al Bushiri di jalan. Mereka berbondong-bondong menghampiri beliau dan menciumi tangannya. Bukan hanya orang tua, anak kecilpun tidak ketinggalan untuk meraih tangan al Bushiri. Hal sedemikian tidaklah mengherankan. Sebab, beliau sangat arif dalam bergaul dan menjaga tatakrama. Beliau tidak lupa menyemprotkan farfum yang sangat wangi ke badannya, wajahnya berseri-seri, murah senyum, sangat ramah ketika bertemu orang lain, tawaduk, dan zuhud.

Lahirnya Kasidah Burdah

Dibanding karya-karya yang lain, Kasidah Burdah merupakan karya al-Bushiri yang paling fenomenal. Sangat banyak karya-karya al-Bushiri yang mengangkat tema sanjungan untuk Rasulullah , tapi hanya Burdah yang sangat terkenal di kalangan masyarakat. Burdah dibaca oleh sekian ribu orang di seluruh dunia, di masjid, surau, lapangan, acara maulid dll. Burdah seakan bacaan wajib apalagi bagi pesantren. Bisa dikata, di setiap pesantren diadakan kegiatan khusus untuk membaca Burdah. Semua itu menunjukkan betapa agung syair yang berisi sanjung madah itu. Dan betapa agung pula pengarangnya.

Tentunya, bukan kebetulan Kasidah Burdah memiliki keistimewaan luar biasa. Bukan juga karena sajak-sajaknya yang indah, kepandaian pengarangnya dalam menyusun kata, tapi dikarnakan Kasidah Burdah lahir dari hati yang bersih, orang yang dekat dengan Baginda Nabi serta mendapat rida dari beliau . Al-Bushiri pernah ber cerita mengenai awal mula kelahiran Burdah dan tersebarnya di Masyarakat.

“Aku pernah mengarang beberapa Kasidah sanjungan kepada Rasulullah benda di antaranya karna mendapat usulan dari Zainuddin Ya’qub az-Zubair. Di tengah-tengah aku akan merampungkannya, separuh tubuhku mengalami kelumpuhan total (As-Syalâl an-Nishfi). Aku tertegun memikirkan nasib kasidahku itu. Lalu aku berdoa, bertawassul dan meminta pertolongan kepada Allah agar menyembuhkan penyakitku. Tiba-tiba aku mengantuk dan tertidur. Dalam tidurku, aku melihat Rasulullah mendatangiku. Beliau mengusap tubuhku yang terkena penyakit dengan tangan mulianya. Lalu beliau memberikan sehelai selendang (burdah) kepadaku. Seketika aku terbangun. Aku mendapati tubuhku sudah sembuh. Dan aku bisa berdiri lagi. Maka aku berjalan keluar rumah. Tiba-tiba, ada orang fakir mendatangiku. la berkata, “Aku ingin engkau berkenan untuk memberikan Kasidah sanjung madahmu kepadaku”. Aku sedikit heran, kok bisa orang fakir itu tahu tentang Kasidahku, padahal aku belum memberitahukan kepada siapapun. “Kasidah apa?” Tanyaku memperjelas maksudnya. “Aku mendengar tadi malam Kasidah itu dibaca di hadapan Rasulullah . Beliau tampak terkagum-kagum mendengarnya. Kemudian Beliau memberikan sehelai selendang (burdah) kepada orang yang membacakan Kasidah itu.” Jawab orang fakir.

Akhirnya, aku penuhi permintaan si fakir. Aku berikan Kasidahku kepadanya. Ternyata, Kasidah itu tidak hanya untuk dirinya, tapi juga disebar-luaskan sehingga cerita Kasidah yang membuatku sembuh itu terdengar oleh Bahauddin. Bahauddin pun mengutus seseorang kepadaku untuk meminta Kasidah ini. Dia bersumpah tidak akan menyentuhnya kecuali dalam posisi berdiri tanpa alas kaki dan penutup kepala. Dia dan keluarganya tercatat sebagai pecinta Burdah.”

Kisah di atas menggambarkan awal perjalanan Burdah menjadi karya yang masyhur dan tersohor. Bukan hanya faktor keindahan bahasa atau kepandaian penulisnya membuat badî dan bayân, namun ada faktor keajaiban supernatural di dalamnya. Oleh karena itu, di kalangan sufi atau masyarakat yang terpengaruh oleh pola pandangan sufistik, Burdah ini seringkali dibaca sebagai sarana tawasul untuk memohon kepada Allah agar hajatnya dikabulkan.

Diantara Hasiat Burdah

Suatu ketika, Sa’duddin al-Fariqi, Petugas Pengesahan Surat (stempel) menderita sakit mata vana sangat parah, sehingga hampir mencapai kebutaan. Suatu malam, dia bermimpi seseorang yang menyuruhnya acar mendatangi Bahauddin. Tanpa fikir panjang dia langsung bergegas menemui Bahauddin dan menceritakan mimipi itu Mendengar penuturan Sa’duddin, Bahauddin berkata “Aku tidak memiliki selendang peninggalan Rasulullah” Lalu. Bahauddin diam sejenak. Fikirannya ingat sesuatau. “Mungkin yang dimaksud mimpi itu adalah Kasidah Burdah milik al-Bushiri” Tukas Bahauddin. “Hai Yaqut… (pembantunya) bukalah peti tempat penyimpanan Kasidah.” Lantas, Yaqut mengeluarkannya dan membawakanya kepada Bahauddin. Melihat Kasidah Burdah itu, Sa’duddin al Fariqi sangat bahagia. Lalu dia mengambilnya dan meletakkannya di Mata yang sakit. Subhanal-Lâh, seketika itu mata Sa’duddin langsung sembuh.

Dalam kisah lain disebutkan, suatu ketika Hadramaut, Yaman tertimpa paceklik hayawan buas pun keluar dari sarangnya berkeliaran di jalan-jalan. Melihat fenomena menakutkan itu, Habib Abdurrahman memerintahkan kepada semua masyarakat agar setiap rumah dibacakan Burdah. Dengan izin Allah hewan buas itu tidak mengganggu rumah masyarakat sama sekali.

Selain di atas, Kasidah Burdah juga bisa diamalkan untuk terkabulnya hajat. Habib Salim mengatakan bahwa Burdah ini sangat mujarab untuk mengabulkan hajat-hajat kita dengan izin Allah itu. Namun, terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi, yaitu mempunyai sanad sampai kepada Imam al-Bushiri, mengulangi bait ‘maula ya shalli wa sallim..’, berwudu, menghadap kiblat, memahami makna bait-baitnya, dibaca dengan himmah yang besar, beradab, dan memakai wewangian.

Konon, Presiden Chechya, Aslan Mashkadov pernah berkata bahwa pasukannya tidak lebih dari 4000 orang ketika perang melawan Rusia. Hanya 837 Mujahidin saja yang ditempatkan di Grozny, ibu kota Chechya. Padahal tentara Rusia yang mengepung Grozny berjumlah 12,000. Sebelum Mujahidin berangkat menuju medan perang, mereka duduk melingkar sambil membaca Kasidah Burdah. Mereka mengalunkannya serempak dengan keras. Setelah selesai membaca Burdah, mereka membaca salawat kepada Nabi lalu berzikir. Setelah selesai, mereka mengangkat senjata dan maju kemedan tempur. Alhamdulil-Lâh, dengan pertolonga Allah itu mereka bisa menumpas pasukan Rusia, padahal jumlah mereka sangat sedikit sekali dibanding tentara Rusia.

Syarih Al-Burdah

Di kalangan ulama, sangat banyak yang mensyarahinya. Demikian ini menjadi bukti bahwa mereka sangat mengagumi dan menyukainya. Di antaranya, Syekh Ali al-Busthami, Syekh Muhammad bin Muhammad alGhazzy, Syekh Muhammad Syekh Zadah, Syekh al-Qadhi Bahar al-Haruni, Syekh Muhammad Ya’qub al Fanari, Syekh Ali al-Yazdi, Syekh Ibnu al-Sha’igh, Syekh Husain alkhawarizimi, Syekh Ibnu Hisyam al-Nahwi, Syekh Khalid alAzhari, Syekh Muhammad bin Ahmad al-Mahalli as-Syafi’i. Syekh Khidhir al-Athofi, Syekh Thohir bin Hasan yang terkenal dengan sebutan Ibnu Hubaib al-Halabi Syekh Muhammad bin Marzuq at-Talmasani, Syekh Al-Syihab alQisthilani, Syekh Zakariyya al-Anshari, Syekh Ibnu Hajar alMakki, Syekh Abu al-Fadl al-Makki, Syekh Utsman al-Uryani, Syekh Muhammad al-Jujari, dan lainnya dari kalangan ulama’.

Wafat

Dunia berkabut. Rintik-rintik air mata menghiasi pemandangan Kota Iskandar, Mesir. Penyair hebat yang tak ada tandingannya sepenjang sejarah itu menghembuskan nafas terakhir. Tepatnya pada tahun 694 H. Beliau dimakamkan di Kota Iskandariyah Mesir.

Makam al-Busiri tampak sesak dipenuhi para peziyarah. Rahasia-rahasia di luar nalar dan cahaya karamah tampak di pusaran ini. Orang-orang yang bertawassul meminta kepada Allah, pasti cepat terkabul.

Beliau meninggalkan warisan berharga berupa karya tulis dalam bentuk puisi yang bisa dijadikan acuan oleh generasi selanjutnya. Di antara karangan beliau yang terkenal adalah al-Burdah, Kasidah Mudhâriyah fihs-Shâlati alal-Khairil-Bariyah, Kasidah al-Hamziyah, Kasidah al-Muhammadiyah, dan Kasidah Lâmiyah yang berjudul al Makhraj wal-Mardûd alan-Nasârâwal-Yahûd.